Cerdas Berliterasi Bencana

Warga Desa Gedangan Purworejo ikut simulasi tsunami
Sebelum menulis lebih panjang, perkenankan saya mengawali bahasan ini dengan menarik dua konklusi. Pertama, tidak ada yang salah dengan pemodelan tsunami dua puluh meter di pesisir selatan Pulau Jawa yang dilakukan ahli tsunami Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr (Ing) Widjo Kongko. Kedua, tidak salah juga ada masyarakat yang kemudian panik, mempercayai pemodelan itu sebai fakta yang akan terjadi dalam waktu dekat.
Dua kesimpulan yang berhubungan erat. Ibarat tidak ada api tidak pula muncul asap. 
Namun ini adalah persoalan. Bahwa ketika ada sebuah kajian terkait sesuatu yang dinilai akan berdampak besar, pasti imbasnya adalah kehebohan. Pemahaman masyarakat sangat beragam memaknai kajian-kajian itu. Bahkan pemahaman yang salah itu menyebabkan adanya kepanikan, ajakan mengungsi, atau menjauhi bibir pantai.
Diperparah lagi dengan menyebarnya hoaks atau berita bohong terkait tsunami selatan Jawa.
...
Bermula ketika Widjo memaparkan hasil kajiannya tentang potensi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa dalam sebuah seminar di Banten pada April 2018. Widjo memaparkan potensi tsunami di Jawa Barat yang dimodelkan bisa mencapai ketinggian 57 meter. Tsunami akibat gempa megathrust magnitudo 8,8. Gempa besar akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia ini memiliki titik pertemuan yang berada di sepanjang selatan Selat Sunda hingga selatan Pulau Dewata.  
Masyarakat dihebohkan dengan informasi tersebut. Muncul pro dan kontra, bahkan polisi sempat memanggil Widjo untuk diminta keterangan.
Widjo kembali mengungkapkan pemodelannya pada Juli 2019. Kali ini pemodelannya adalah tsunami setinggi dua puluh meter yang bisa saja terjadi di pesisir selatan Pulau Jawa akibat dipicu megathrust. Pemodelan menyebutkan apabila dalam kondisi daratan yang landai, ombak bisa masuk hingga empat kilometer.
Namun tidak pernah ada paparan mengenai kapan gempa akan terjadi dan berapa kekuatannya. Sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi waktu datangnya gempa bumi.
Lagi-lagi kajian ilmiah itu memicu kontroversi di masyarakat. Sebagian warga memahaminya sebagai bentuk peringatan dini, namun ada lainnya yang justru panik. Sampai-sampai termakan hoaks bahwa potensi itu bakal terjadi dalam waktu dekat.
Warga yang panik bahkan ada yang sampai mengungsi. Pun masyarakat di daerah yang jauh dari pantai, mereka juga sama khawatirnya. Mereka bertanya tentang kondisi kerabat yang tinggal di pesisir, ada juga yang mengingatkan penduduk pantai untuk mengungsi.
Informasi yang diperoleh sangat simpang siur. Padahal, apa yang disampaikan para ahli adalah kajian dan berbagai kemungkinan yang diawali dengan rangkaian penelitian tentang sejarah gempa besar dan tsunami di selatan Pulau Jawa.
Sejarah merekam tsunami dan gempa besar pernah terjadi pada segmen tumbukan lempeng selatan Jawa. Gempa berkekuatan di atas magnitudo 7,0 pernah terjadi pada 1863, 1867, 1871, 1896, 1903, 1923, 1937, 1945, 1958, 1962, 1967, 1979, 1980, 1981, 1994, dan 2006. Adapun tsunami terekam pada tahun 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006. Masih menganggap kajian ilmiah Dr Widjo Kongko dan ilmuwan gempa lainnya bohong?
Namun, perbedaan sikap dalam menanggapi paparan para ahli yang menjadi persoalannya. Tentunya, mereka memaparkan potensi tsunami itu dengan tujuan mengingatkan agar masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan terdampak, menjadi waspada. Tidak ada tujuan menimbulkan kepanikan.
Kenyataannya, memang sempat terjadi keresahan akibat ketidakpahaman masyarakat dalam mengolah informasi yang disampaikan para ahli. Apalagi dibumbui dengan munculnya hoaks atau berita bohong terkait tsunami, di antaranya adalah pesan singkat berbunyi “Perhatian kpda warga Indonesia supaya tanggal 21 sampai akhr blan dsember supaya senantiasa waspada karna akan ada bencana yang menimpa negara Indonesia hal ini telah disampaikan oleh anggota BMKG supara slalu berhati hati,”. Pesan singkat berisi hoaks ini beredar pada penghujung 2018.
Kemudian muncul postingan pascatsunami Selat Sunda Desember 2018. Seseorang memposting foto sirine peringatan dini, namun dalam keterangan ditulis “Alat deteksi letusan gunung dipasang pemerintah pusat didesa selat duda seharga 6 m. mampu deteksi 2 jam sebelum meletus,”. Hoaks ini juga dibantah oleh Kapusdatin Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ketika itu dijabat almarhum Soetopo Purwonugroho.
Pesan berantai dan unggahan foto itu sebenarnya sangat mudah dikenali sebagai hoaks. Keduanya tidak menampilkan sumber yang jelas, kalimat ditulis secara rancu, dan isinya tendensius. Sangat jauh jika dibandingkan dengan tata bahasa rilis resmi yang disampaikan BMKG atau BNPB.
Namun, namanya hoaks, informasi itu tersebar dengan liar dan masif. Siapa pun bisa menerima. Parahnya, apabila informasi itu sampai ke tangan orang yang memiliki pengetahuan kebencanaan terbatas atau sedang menjadi korban bencana (misal warga Lombok dan Palu, pascagempa), lalu dipercaya. Nah, pasti menimbulkan keresahan baru.
Pun sama ketika hoaks dipercaya warga yang tidak sedang terkena bencana. Kepanikan akan muncul, hidup tidak tenang, perekonomian pun terdampak.
Cerita sama terjadi di Purworejo ketika paparan tsunami dua puluh meter menjadi viral dan menjadi isu hangat di masyarakat pertengahan Juli 2019. Sejumlah objek wisata pantai di wilayah itu mendadak sepi. Hanya ada sedikit pengunjung yang berwisata ke pantai, bahkan hari libur pun tidak ramai seperti biasanya.
Padahal warga yang tinggal di pesisir justru tidak merasa panik. Mereka menanggapi potensi ancaman tsunami itu dengan sewajarnya dan tetap menjalani kehidupan seperti biasa.
Berdasarkan informasi yang saya gali dari masyarakat pesisir Purworejo, potensi tsunami, berapa pun ketinggiannya, bagi warga pantai adalah hal biasa. Bagi mereka, yang namanya bencana bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Maka buat apa panik ? Serahkan semuanya kepada Yang Mahakuasa.
Mereka bisa tenang bukan tanpa sebab. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Purworejo gencar melakukan sosialisasi potensi bencana tsunami sejak tahun 2012, setelah lembaga itu resmi berdiri. Pemegang kebijakan di BPBD Purworejo langsung bergerak memetakan potensi bencana.
Pesisir pantai sepanjang 24 kilometer dinyatakan kawasan rawan tsunami. Apalagi bencana itu memang pernah dirasakan warga Purworejo pada tahun 2006 silam, yang dipicu gempa di Pangandaran. Meski daya rusaknya tidak seberapa dan tidak menimbulkan korban jiwa.
Namun, ada sebuah fakta bahwa pantai Purworejo pernah diterjang tsunami. Kajian ahli pun mempercayai bahwa bencana memiliki siklus waktu tertentu dan pasti akan berulang, tetapi entah kapan.
Sosialisasi tsunami sejak dini
Diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat. BPBD mengajak masyarakat untuk memahami tiga hal yaitu “Kenali ancamannya, siapkan strategi, siap untuk selamat,”. Rangkaian sosialisasi dilanjutkan dengan kegiatan simulasi tsunami yang diselenggarakan secara berkala. BPBD juga mendirikan belasan menara early warning system (EWS) tsunami di desa pesisir. Alat itu diuji coba dengan cara dibunyikan sebulan sekali. Jalur evakuasi juga dibuat.
BPBD Purworejo menegaskan bahwa Budaya Sadar Bencana penting bagi masyarakat.
Para pemegang kebijakan ini mungkin tidak paham secara detail mengenai apa itu literasi bencana.  Namun, apa yang mereka ajarkan adalah bentuk penguatan literasi masyarakat. Secara tidak langsung, masyarakat diajari untuk mampu mengolah informasi kebencanaan yang beredar luas di berbagai media.
·        Sebagaimana ditulis dalam kamus, literasi berarti kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka memahami informasi itu, sehingga bisa membuat keputusan. Apakah akan percaya dengan hoaks, atau menunggu informasi satu pintu dari BPBD setempat. Namun, berkaca dari peristiwa yang terjadi pertengahan tahun ini, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar penduduk pesisir Purworejo telah memiliki literasi bencana yang baik.
Kabupaten Purworejo hanyalah satu contoh sukses berhasilnya sosialisasi kebencanaan. Saya meyakini, daerah lain pun menerapkan strategi yang sama dalam mengingatkan masyarakat soal bencana. Untuk materi, tentunya tetap disesuaikan dengan potensi bencana wilayahnya.
Namun, barangkali tidak salah apabila para pemegang kebijakan terkait kebencanaan ikut mensosialisasikan kerawanan yang tidak terdapat di daerahnya. Misalnya, sosialisasi bencana tsunami untuk masyarakat daerah yang tidak berpantai. Meski tentu porsinya tetap lebih sedikit dibanding pemaparan bencana yang menjadi potensi bencana utama.
Sosialisasi secara lengkap ini, akan membantu kita dalam menangkal kesimpangsiuran informasi yang pasti akan berguna ketika hoaks tsunami beredar. Masyarakat tidak akan ikut panik dan tidak menyebarluaskan informasi bohong itu. Mereka bisa menjadi ‘agen’ yang ikut menenangkan kerabatnya yang tinggal atau beraktivitas di kawasan pesisir. Semoga ini bisa menjadi bagian dari strategi kita untuk mempersiapkan masyarakat yang tangguh menghadapi bencana.

Comments

Popular Posts