Desa Ekowisata Karangrejo
Desa Ekowisata yang mulai berdiri sejak tahun 2009 itu menawarkan poteni keindahan alam dan budaya masyarakat setempat. Datang ke Desa Karangrejo sama saja dengan mengunjungi Purworejo 'mini', sebab berbagai keragaman yang ada di Purworejo, juga tersaji di sana.
Saat pertama kali menginjakkan kaki dari pintu masuk di Pasar Sejiwan Trirejo, akan langsung tersuguh bangunan bersejarah peninggalan Belanda, bernama Bendung Kedungputri di Sungai Bogowonto. Sejak dibangun sekitar tahun 1925 lalu, Bendung Kedungputri sangat berjasa mengairi sedikitnya 6.000 hektare sawah milik petani Purworejo. Selain nostalgia dengan bangunan bendungan tua, Sungai Bogowonto pun menarik dijelajahi untuk olahraga arung jeram. Terdapat jalur petualangan sepanjang sekitar sepuluh kilometer, dengan waktu tempuh sekitar dua jam, mulai dari Bendung Penungkulan di Kecamatan Gebang, hingga finish di Bendung Kedung Putri. Ketika air Sungai Bogowonto penuh saat musim hujan, belasan jeram di alurnya sangat menantang. Bahkan, jeram itu memiliki skala kesulitan level 3 hingga 4.
Menyusur lebih dalam lagi ke Desa Karangrejo, kembali ditemui adanya benda cagar budaya, berupa Rumah Lurah Glondong yang dibangun pada tahun 1913. Lurah Glondong Karangrejo merupakan pemimpin Lurah atau Kepala Desa se-Kecamatan Loano. Pada jaman kerajaan ratusan tahun lalu, hingga akhir tahun 1960-an, Lurah Glondong populer dan disegani. Bahkan, ia memiliki rumah dinas sendiri. Terakhir, jabatan Lurah Glondong dipegang oleh Haji Tajib, sekitar tahun 1960-an. Kini, masih tersisa sebagian bangunan tua rumah sang Lurah Glondong yang kini dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata.
Selain Rumah Lurah Glondong, terdapat benda cagar budaya lain, yakni Kompleks Makam Silencu. Dalam kompleks pemakaman itu, dimakamkan raga Pangeran Dipokusumo. Pangeran Dipokusumo merupakan ahli strategi perang yang menjadi kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam melawan pendudukan Belanda, tahun 1825 hingga 1830. Pangeran Dipokusumo dimakamkan pada tahun 1855. Selain itu, turut dimakamkan sejumlah pejuang serta ulama yang hidup pada jaman perlawanan Diponegoro, seperti Kromoharjo, atau Patih Purworejo pada tahun 1864. Bahkan, kompleks pemakaman itu dipercaya sebagai markas pasukan Pangeran Diponegoro dalam mengatur strategi perang.
Ketika sudah sampai di Kompleks Makam Silencu, berarti sudah terbuka jalan untuk menyusur hutan rakyat Karangrejo. Hutan milik sejumlah warga dengan luas sekitar 171 hektare itu sangat berarti bagi masyarakat setempat. Jika saja tidak ada hutan rakyat, pasti warga Karangrejo akan menghadapi masalah kekurangan air, seperti pernah terjadi sekitar 20 tahun lalu. Saat itu, Karangrejo dikenal sebagai daerah yang gersang, tanahnya keras, hampir tidak ada mata air. Namun, berkat perjuangan almarhum Mbah Daliyo, desa itu kini hijau. Puluhan tahun lalu, Mbah Daliyo yang berprofesi sebagai penjual minuman keliling selalu membawa bibit tanaman kayu setiap kali ia pulang berjualan. Ia tanam pohon di perbukitan yang gersang. Meski pada awalnya dicibir warga, lambat laun, langkah itu diikuti penduduk setempat. Kini, bukit yang dulu gersang sudah disulap menjadi hutan yang hijau dan menjadi penyedia air bagi ratusan warga, serta tempat berkembangbiak spesies burung, serangga, dan reptil. Hutan itu juga menjelma jadi kawasan hiking yang menantang, serya sejumlah olahraga ekstrem, seperti rappeling dan panjat tebing Watu Semurub.
Juga terdapat batu mitos bernama Watu Kendhit. Batu bulat yang memiliki tonjolan melingkar pada bagian tengah itu dikenal sebagai 'batu tiban', atau batu yang tidak diketahui asal usulnya. Bahkan, ada kepercayaaan, jika berhasil menjengkalkan tangan pada lingkaran kendhit tanpa lebih atau kurang, apa yang kita inginkan bisa terkabul.
Masyarakat Desa Karangrejo juga merupakan kelompok yang menjunjung tinggi adat, budaya serta kearifan lokal yang ada di dalamnya. Jika tidak, tentunya kita tidak akan bisa melihat hijaunya ratusan hektare hutan rakyat. Selain itu, budaya untuk menjaga tradisi juga diwujudkan dengan tetap lestarinya Grup Kesenian Jathilan Turonggo Seto. Grup kesenian tari rakyat yang dipercaya sudah muncul sejak ratusan tahun lalu itu, hingga kini masih bertahan dan beregenerasi. Grup Turonggo Seto selalu siap tampil menyambut kedatangan tamu ke Karangrejo. Selain itu, kelompok pemuda dan anak-anak di Karangrejo juga membentuk grup penari Dolalak, tarian khas Kabupaten Purworejo.
Penasaran dengan gambaran alam dan budaya Karangrejo? Jangan dulu! Sebab, keindahan tidak hanya ada di Karangrejo saja. Masih banyak potensi lain di desa-desa di sekitar Karangrejo, sepetri Desa Kalikalong serta Kalisemo. Kalikalong yang terletak hanya satu kilometer dari Karangrejo menyimpan keindahan alam serta tradisi. Potensi Kalikalong adalah berdirinya sejumlah industry rumah tangga ‘mie soun’ atau mie putih. Menariknya, mereka masih membuat mie soun tersebut secara tradisional, dengan hanya tenaga manusia. Bahan bakunya juga khusus, yakni dari tepung sagu batang pohon aren. Warga membuat sendiri tepung sagu dengan menggiling dan memeras sari batang aren, serta memasak bahan itu menjadi mie.
Sementara itu, Kalisemo dikenal sebagai gudangnya pande besi atau pembuat senjata tradisional, alat pertanian, serta peralatan rumah tangga. Ada puluhan warga yang berprofesi sebagai pande besi. Jika siang hari datang ke Kalisemo, telinga kita akan disuguhi bunyi dentang besi dan palu yang saling beradu. Sungguh ramai! Selain itu, di Kalisemo, nyali kita akan ditantang dengan berjalan melintasi Jembatan Gantung Tempuran. Jembatan gantung dengan panjang sekitar 60 meter dan membentang di atas Sungai Bogowonto.
Travelling menyusur berbagai keindahan alam dan budaya itu dapat dinikmati dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Atau pengelola Desa Ekowisata Karangrejo akan menyiapkan sepeda yang khusus dipakai untuk pengunjung yang datang.
Comments
Post a Comment